Anomali Itu Bernama Didi Kempot

ilustrasi: Indozone.id

Apa yang membuat Didi Kempot tiba-tiba menjadi idola baru di kalangan anak-anak milenial? Berbagai jawaban boleh disebutkan. Tetapi saya senang menggunakan teori anomali.

Yang akrab dengan teori anomali mungkin mengernyitkan dahi. Dalam ilmu sosiologi, teori anomali digunakan sebagai perspektif untuk melihat ‘penyimpangan’. Anomali lebih dekat ilmu patologi sosial. Anomali adalah penyimpangan dari kenormalan. Untuk mengendalikannya, perlu tindakan sosial agar si anomali kembali ke pangkuan normalitas. 

Apakah popularitas Didi Kempot ini adalah penyimpangan? Tidak! Saya menggunakan teori ini dengan cara lain. Anomali adalah refleksi dari “tidak biasa”, istimewa dan luar biasa. 

Anomali adalah ruang kosong yang disisakan oleh mekanisme alam untuk mereka yang ‘sedikit’. Anomali teragung dalam sejarah manusia adalah kelahiran Nabi Isa. Di saat mekanisme alamiah proses kelahiran manusia melalui proses pembuahan antara lelaki dan perempuan, Nabi Isa didatangkan dengan cara yang anomali. Agama menyebutnya keistimewaan, kekhususan, refleksi ilahiah. 

Anomali dalam konteks ini bukan kebetulan, apalagi penyimpangan. Dia adalah perangkat penting yang diciptakan Tuhan, sebagai alarm, bahwa gerak orchestra kehidupan dipandu oleh-Nya. Anomali diciptakan agar manusia menyadari kehadiran Tuhan dalam semua sisi kehidupan. 

Anomali adalah kontra-mainstream. Sedikit tetapi istimewa. Eits, tetapi bukan determinan. Dia tidak seperti ruling minority para taipan yang menguasai ekonomi. Para anomalis ini minoritas yang terpinggirkan tetapi tiba-tiba hadir di tengah arus mainstream sebagai simbol perlawanan atau apapun itu. Dengan anomali seperti ini,  dunia lebih dinamis, acak, menarik, dan mengejutkan. 

Didi Kempot di Era 90an

Popularitas Didi Kempot setahun belakangan adalah anomali dunia hiburan. Didi Kempot  yang lahir tahun 1966 adalah seniman lawas. Sedikit di bawah Iwan Fals dan Doel Sumbang. Dia generasi 90 an. 

Didi Kempot memiliki kemiripan dengan  Doel Sumbang dalam bermusik. Keduanya bergenre etnik. Didi Kempot ber-genre Pop Jawa sedangkan Doel Sumbang bergenre Pop Sunda. 

Di era 90 an, Didi Kempot kalah bersaing dengan Doel Sumbang. Lagu Cidro milik Didi Kempot diciptakan bersamaan dengan lagu “Kalau Bulan Bisa Ngomong”-nya Doel Sumbang. 

Orang Indonesia yang berusia remaja di tahun 90-an pasti akrab dengan lagu ini. Doel Sumbang berhasil mengadaptasi lagu Pop Sundanya menjadi selera nusantara, dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Orang Makassar seperti saya pun menyenangi unsur Sunda dalam lagu Pop Doel Sumbang. Apalagi di era 90 an, musik tanah air dikuasai oleh genre pop dan rock. Dewa 19, Slank, Gigi  dan band berbasis rok adalah raja musik tanah air. 

Siapa generasi 90 an yang akrab dengan lagu Cidro-nya Didi Kempot, kala itu? Saya tidak. Lagu ini mungkin saja populer di kalangan masyarakat Jawa, khususnya di Solo. Tetapi tidak secara nasional, sebagaimana lagu pop Sunda Doel Sumbang. Didi Kempot kala itu seperti Iwan Tompo. Sangat terkenal di Sulawesi Selatan tetapi secara nasional, tidak.

Namun, siapa yang menduga, 30 tahun kemudian lagu Cidro meledak. Viewers video re-make lagu Cidro di You tube sudah mencapai 21 juta. 

Lagu Cidro meledak di saat lagu dari era 90 an tenggelam dan hanya sesekali ditampilkan dalam ajang pencarian bakat. Itupun dengan aransemen yang dibuat sesuai dengan citarasa milenial.

Tetapi lagu Cidro ini masih dengan versi asli, dengan penyanyi yang sama. Meledak! Didi Kempot mendapatkan popularitas besar di kalangan generasi milenial, menyusul lagu Ambyar. Segera setelah itu, Didi Kempot didaulat sebagai Lord of Broken Heart.

Terlahir Kembali

Didi Kempot mendapatkan popularitas besar, di masa yang anomali. Di saat musisi segenerasinya sudah tenggelam, Didi Kempot justru seperti terlahir kembali. 

Popularitas yang melangit itu datang dari sebuah konser kecil di Solo, medio tahun 2019. Didi menyanyikan lagu Cidro. Penampilannya diresonansi di media sosial. Entah kenapa, Didi Kempot tiba-tiba viral dan menjadi arus baru musik. Penggemarnya mulai banyak. Mereka kemudian mengkonsolidasi diri melalui fans club yang dinamakan “Sobat Ambyar”. Didi adalah Lord. Dia bukan teman, tetapi dewa. 

Didi Kempot sejatinya bukanlah sosok yang ‘tepat’ untuk dijadikan idola milenial. Dia sudah berumur, tidak tampan, dan musik yang dibawanya bukan selera anak muda. Lagu Cidro adalah lagu jadul. Tetapi, alam dengan segala otoritasnya menjatuhkan pilihan nasib baik kepada Didi Kempot untuk menjadi idola. Menarik bukan? 

Sebelumnya, kita mengenal Mbah Surip. Yang tiba-tiba begitu saja terkenal dan menjadi idola anak-anak muda, hanya dengan satu lagu saja Bangun Tidur. Ada juga Briptu Norman, Duo Keong Racun. Semuanya anomali. Datang dengan cara mengejutkan, tidak terprediksi, tetapi kita menerimanya. 

Dedi Kempot tidak mungkin menjadi idola generasi milenial, kecuali melalui mekanisme anomali. Jalan popularitas baru Didi Kempot tidak lepas dari kebangkitan lagu bergenre koplo dan campur sari yang dipopulerkan oleh Didi Kempot dan artis-artis anyar. Bersama Via Vallen dan Nella Kharisma, mereka boleh disebut sebagai ikon campur sari. Lagu "Stasiun Balapan" yang populer tahun 2000an bolehlah disebut sebagai tonggak genre campur sari. Sekaligus membuat nama Didi Kempot dikenal luas.

Musik campur sari yang selama ini berada di area pinggir tiba-tiba bergerak ke tengah dan menjadi arus baru. 

Beberapa tahun belakangan selera musik di tanah air memang mengalami bentuk yang acak. Musik-musik yang ringan, tidak bertele-tele, dan easy listening digandrungi anak-anak muda. Selera musik yang membuat Ahmad Dhani kehilangan konteks dan akhirnya bergabung di dunia politik. Lagu-lagu puitis dengan musik yang rumit dan penuh dengan liukan seni kehilangan era. Musik koplo dan campur sari mulai ikut bermain. 

Perubahan media yang dulu dikuasai oleh studio rekaman menjadi cover you tube membuat musik yang easy listening ini mudah diterima publik. 

Budaya Populer

Budaya populer memang banal. Ukuran tertingginya adalah akumulasi selera. Selera berbasis pada era dan kebosanan. Musik banal adalah tempat berbagai selera diadu. Siapa yang memenangkan pertarungan, dia akan muncul ke publik. 

Didi Kempot boleh jadi muncul di tengah kejenuhan akan kepalsuan wajah tampan dan tubuh atletis. Dia juga boleh jadi digunakan sebagai mode perlawanan terhadap serbuan budaya asing. 

Didi Kempot adalah pilihan paling tepat. Dia adalah potret dari Indonesia yang orisinil. Mulai dari wajah, kustom, hingga bahasa yang digunakan. 

Via Vallen memang menggunakan bahasa Jawa dalam lagu Sayang, opo kuwe krungu. Tetapi Via adalah potret perempuan modern. Dandanannya lebih menyerupai artis Korea ketimbang orang Indonesia. Dia telah termodifikasi. 

Tidak ada yang paling orisinil ketimbang Didi Kempot.

Panggung Didi Kempot adalah panggung anomali. Tempat pertemuan kontradiksi. Penggemarnya kebanyakan berusia 20 an. Dia yang bersarung dan berblangkon, dielu-elukan oleh pemuda-pemudi yang berpakaian ala hip-hop. Celana jeans robek, kaos oblong. 

Mereka adalah pemuda urban yang ketika mengisi daftar nama idola mungkin mereka tidak akan menyebut nama Didi Kempot. Tetapi, dengan segala hormat mereka menyatukan perasaan mereka yang ambyar untuk menyambut Lord Didi dengan teriakan,” cendol dawet!”. Berkali-kali! 

Anomali Didi Kempot adalah anomali yang berkelas. Dia adalah musisi yang konsisten membawa genre campursari sejak lama hingga menemukan era-nya sendiri. Dia juga sudah sangat lama berkecimpung di dunia musik. 

Penggemar Didi Kempot sebenarnya sudah banyak tetapi kebanyakan berumur dan berbasis bahasa Jawa. Anomali yang terjadi di penghujung karirnya mungkin adalah puncak dari popularitas genre campur sari di tanah air. 

Didi Kempot telah berpulang. Pecinta musik tanah air, mungkin tidak akan bisa lagi menemukan kontradiksi yang indah. Mungkin dalam beberapa puluh tahun ke depan, musik Indonesia tidak bisa mendapatkan sosok seperti Didi Kempot. Yang datang dengan anomali berkelas.

Selamat jalan Raja Patah Hati Indonesia, Lord Didi Kempot.

Pepi Albayqunie
Pengagum Gus dur

Komentar