Bilal dan Isu Kesetaraan Dalam Islam

Nama Bilal sangat akrab dengan umat Islam. Dia salah seorang sahabat Nabi yang namanya abadi dan menyebar ke seluruh dunia. Sebagai muadzin pertama dalam Islam, namanya melegenda. Di kampung saya (dan di banyak tempat), tukang azan disebut bilala. Gelar yang diadaptasi dari nama Bilal. 

Pagi ini, saya berkesempatan bersentuhan kembali dengan Bilal melalui satu film animasi menarik dengan judul Bilal. Film yang diproduksi oleh salah satu PH (Production House) film di Perancis mengadaptasi sejarah Islam dari sudut sorot kisah Bilal, sahabat Nabi. Meski bersetting  wilayah Arab, namun film ini menggunakan Bahasa Perancis. 

Latar belakang film ini adalah sejarah Bilal. Alur utama film ini adalah pergulatan Bilal sebagai budak dan Umayah, tuannya dari bangsawan Arab. Film ini juga menghadirkan Hamzah, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Bakr. Seperti film bertema Islam lainnya, Nabi Muhammad tidak dihadirkan-sama sekali. 

Bilal berkulit legam, seperti imajinasi saya. Yang terasa berbeda dari imajinasi saya adalah wajah Bilal yang tampan dan hidung yang mancung. Adiknya Ghufairah juga berwajah manis.

Film ini mengeksplorasi pergulatan batin seorang Bilal yang desanya dihancurkan oleh satu rezim. Seluruh penduduk desa dengan ras kulit hitam dijual di pasar budak, termasuk Bilal dan adik perempuannya Ghufaira. Oh, iya. Ibu Bilal meninggal dunia dalam penyerangan itu dan memberi amanat terakhir untuk melindungi adiknya. 

Kesetaraan dan Pembebasan

Ide besar yang disajikan film ini adalah kesetaraan. Narasi pembuka film ini menyebutkan kisah Bilal sebagai kisah pencarian kesetaraan yang paling otentik dan tua dalam sejarah Islam. 

Bilal adalah seorang budak memiliki pertanyaan-pertanyaan dasar yang mengarah kepada kesetaraan. Bilal sebenarnya berasal dari kelas merdeka, bukan kelas budak. Dia menjadi budak karena situasi yang memaksanya dan dia tidak punya pilihan lain kecuali menurut.

Bilal mempertanyakan situasi ‘ketidaksetaraan’ sosial antara manusia, bukan kebebasan fisik. Dalam satu sketsa, Bilal sebenarnya berkesempatan melarikan diri karena kuda putih milik Umayyah itu sangat akrab dengannya. Tetapi Bilal memilih tetap sebagai budak. Sekali lagi kebebasan yang dinginkannya bukanlah hidup merdeka, tetapi hidup setara.

Bilal adalah budak dengan jiwa merdeka. Dia berani mempertaruhkan dirinya untuk membela adik perempuannya yang ditindas oleh Shafwan bin Umayyah, anak majikannya. Meski budak, Bilal berani berkelahi dengan anak tuannya. Bilal tidak kehilangan identitas dirinya sebagai manusia meski berstatus sebagai budak. 

Pertemuannya dengan Abu Bakr membuat pertanyaan tentang kebebasan yang hampir redup itu mendapatkan konteksnya. Agama baru yang dijelaskan oleh Abu Bakar menawarkan kesetaraan hidup sebagai manusia. 

Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini mengkritik struktur kelas yang dinikmati dan dipelihara oleh para bangsawan Arab untuk memperkuat fondasi kuasa mereka atas resources keagamaan di Ka’bah yang dikuasai sepenuhnya oleh kelas penguasa suku-suku Arab. 

Tokoh agama kuno Arab berperan sebagai sumber ekonomi. Seluruh pergerakan agama di dataran Arab dikontrol sepenuhnya oleh kelompok bangsawan. Agama baru ini menjadi jawaban dari pertanyaan atas kesetaraan yang selama ini muncul dalam diri Bilal. 

Film ini menjelaskan bahwa kemarahan para bangsawan Arab kepada agama Muhammad adalah ide teologisnya yang menawarkan kesetaraan identitas. Narasi ini menggelisahkan karena akan membawa perubahan besar dan sekaligus mengancam eksistensi bangsawan. Ide ini diklaim oleh para petinggi Arab Jahiliyah sebagai ide yang membahayakan eksistensi mereka sebagai etnik tinggi dan sekaligus membahayakan reproduksi ekonomi mereka yang sirkulasinya sangat tergantung kepada mobilitas para budak. Oleh karena itu, atas dasar menyelamatkan agama mereka, perlawanan kepada agama baru ini dilakukan. 

Singkat cerita, desakan nurani Bilal untuk mendapatkan kebebasan mendapatkan momentum. Bilal butuh kebebasan. Agama Islam menyediakannya. Bilal memeluk Islam dalam keadaan sebagai budak. Bilal menemukan cita-citanya untuk merdeka melalui narasi Islam. Meski Bilal akhirnya mendapatkan tekanan dan hukuman besar. Umayyah menghukumnya sebagai tuan dan meminta Bilal untuk merevisi pandangannya tentang kesetaraan. Bilal menolak dan memilih untuk mati. Di titik terendah, Abu Bakr menebus Bilal dengan harga yang sangat mahal. 

Di film itu digambarkan Abu Bakr menebus Bilal dengan semua harta yang dimilikinya (ini masih perlu disandingkan dengan hadis). Bilal menemukan dirinya dalam Islam. Suara indah Bilal menjadikannya memiliki tempat isrimewa dalam peradaban Islam. Kekuatan fisik Bilal mendapatkan bimbingan dari seorang panglima perang yang hebat, Hamzah. Kelak, dalam satu perang Bilal berkesempatan untuk duel dengan Umayyah dan berhasil membunuhnya.  

Film ini menyentak kesadaran saya tentang satu isu penting dalam Islam yang tidak ikut berkembang yaitu kebebasan dan kesetaraan. Agama Islam yang kita kelola terima hari ini tidak memperhitungkan ide kebebasan sebagai elemen penting dalam diskursus agama. Entah di fase sejarah mana, ide pembebasan dan kesetaraan hilang dalam perbincangan Islam dan diambil alih sepenuhnya oleh kelompok berhaluan kiri.

Islam Kita Sekarang

Berbeda dengan Bilal, kita menerima Islam sebagai ‘barang jadi’ yang sudah mapan. Islam telah paripurna dan telah teruji melewati fase ribuan tahun dari titik awalnya di Arab.

 Islam yang berkembang sampai ke halaman rumah kita adalah Islam yang mengalami transformasi baik dari sudut pandang kebudayaan maupun perlakuan. Islam yang datang kepada kita bahkan kadang-kadang dalam bentuk pertentangan. Sejak lama, kita sudah diperhadapkan friksi antara kelompok anti barzanji dan pro barzanji. Kelompok berjanggut dan tidak berjanggut. Islam dengan cita-cita khilafah dan Islam dengan corak NKRI. Kita berbeda fase dengan Bilal, tentu saja. 

Agama yang diterima Bilal bersifat gagasan, gerakan, dan prosesual. Spiritnya sangat kuat dan simbol the great man dalam diri seorang Nabi masih hidup dan menjadi poros gerakan pembebasan itu. Agama yang kita terima hari ini telah mengalami proses pelembagaan dengan identitas keagamaan yang lebih partikular dan formal.

Islam telah berkembang pesat ke berbagai penjuru negara. Tetapi, ide pembebasan tampaknya ‘hilang’ dari kamus agama Islam di era modern. Isu ini malah sangat identik dengan kaum marxis. Gagasan pembebasan seolah melekat pada gerakan kelompok kiri, sedangkan kaum agamis adalah mereka yang normatif. Tak jarang, kelompok dengan isu pembebasan ini menempatkan agama satu deret dengan kekuasaan politik dan ekonomi yang membelenggu kemanusiaan dan menempatkan manusia pada kotak perbudakan dalam bahasa modern, buruh, kelas pekerja, asisten rumah tangga, cleaning service, dan sebagainya. 

Yang kita sebut agama saat ini adalah pengaturan hubungan kepada Tuhan melalui serangkaian ritual yang formal dan terukur, mulai dari massif hingga sunyi. Yang kita sebut dakwah adalah mengajak orang untuk beribadah. 

Yang kita sebut agama adalah yang mengatur keseimbangan hubungan antar manusia melalui mekanisme filantropi dan penguatan jaringan pengaman sosial. Topik-topik inilah yang kita abstraksi dan kristalkan sebagai bentuk terbaik dari agama. 

Para agamawan yang wara-wiri di mimbar, media digital, dan media digital berceramah dengan tema yang relatif seragam. Mereka bertindak sebagai agen kebenaran yang mengingatkan manusia untuk bertindaklaku sebagaimana manusia beragama, yang taat beribadah, hormat terhadap pemerintah, dan rajin menyumbang. Kita semua berada dalam frekwensi yang sama bahwa tema-tema itulah yang disebut agama.

Sirkulasi pengetahuan keagamaan berputar dalam isu yang cenderung statis dan sekali lagi formalis. Fatwa-fatwa yang mengatur moralitas publik untuk kepentingan keseimbangan hidup sebagai manusia sangat banyak. Mulai dari fatwa larangan merokok, riba hingga fatwa ucapan selamat natal. Tidak jarang fatwa ini malah diperdebatkan. Yang paling terakhir, fatwa menunda salat Jumat masih menjadi polemik. Sebagian masih bertahan untuk tetap menggelar Salat Jumat seperti sediakala. 

Para agamawan juga sangat responsif untuk memastikan bahwa umat Islam berada di jalur agama yang tepat. Jika anda sudah sangat taat beribadah, rajin menyumbang, sopan, dan baik hati, maka anda adalah prototipe yang diinginkan itu.

Tidak banyak di antara kita yang mengklaim bahwa pembebasan dan kesetaraan adalah bagian dari misi profetik. Sama pentingnya dengan mengajak taat beribadah. Kalaupun ada yang bicara pembebasan, kecil jumlahnya. Itupun berasal dari aktivis Islam yang bersentuhan dengan pemikiran kiri. Juga, tidak banyak fatwa yang kita dengar bertujuan untuk menyelamatkan orang dari kelaparan. 

Tidak banyak fatwa yang kita dengar yang melarang seorang memiliki tanah yang sangat luas. Tidak ada fatwa yang menyatakan bahwa penggusuran tanah adalah tindakan yang haram. Kalau pun ada sekali lagi tidak menjadi arus mainstream. Ide kesetaraan gender bahkan harus berdebat dengan para agawaman dan menganggapnya sebagai tafsir pemberontakan terhadap narasi agama. 

Kelompok agawaman yang memperbincangkan gagasan kesetaraan biasanya diklaim sebagai agamawan yang terpengaruh ide liberalisme Barat. 
Kita bahkan percaya bahwa tindakan meminta keadilan untuk kesetaraan dan pembebasan adalah ide sekuler. 

Padahal, pada abad 6 M seorang lelaki Arab berstatus sebagai utusan Tuhan datang menawarkan gagasan pembebasan kepada Bilal dan para budak lainnya. Agama yang dibawanya berhasil mengubah tindakan para budak untuk memperjuangkan derajat mereka. Kita mengenalnya sekarang dengan istilah, perjuangan kelas. 

Lelaki yang bernama Muhammad itu  datang menawarkan kesetaraan kelas sosial sebagai misi teologis. Hari ini, entah kenapa kita tidak memasukkannya sebagai agenda gerakan keagamaan kita. @

Pepi Albayqunie
-pengagum Gus Dur- 

Komentar