Kapitalisme Yang Selalu Bikin Keki


Sebagai disclaimer, saya bukanlah ahli di bidang ekonomi dan teori kapitalisme. Saya hanya sering ikut-ikut dalam kajian tentang ini. Diskusi tentang krtitik kapitalisme yang saya ikuti itu biasanya sangat panjang lebar membincang dan menelanjangi keburukan kapitalisme. Bisa sampai dua tiga jam. 

Namun, ketika memasuki pertanyaan bagaimana cara melawan kapitalisme agar hilang di negara kita? Atau sistem apa yang bisa menggantikan kapitalisme dengan cepat? Krik-krik-krik. Senyap sejenak, lalu muncullah jawaban-jawaban heroik tetapi lama-lama terasa utopis. 

Yang sangat Marxian memberi jawaban: ‘rebut alat produksi’. Tetapi ini sangat jargonik. Tidak ada satu pun gerakan merebut alat produksi itu berjalan efektif, atau bahkan di Indonesia, gerakan itu sama sekali tidak ada. Kalaupun ada, hanya berupa gerakan kecil yang tidak bisa mengubah sistem.

Kapitalisme berkembang dan menyatu dalam sistem ekonomi, politik, dan kekuasaan. Alat produksi kapitalisme dilindungi oleh sistem politik dan kekuasaan. 

Gerakan merebut alat produksi butuh kekuatan besar. Sayangnya, kekuatan itu tidak tercipta. Serikat buruh banyak versi dan bergerak sesuai versi masing-masing. Kadang-kadang, sarikat buruh ini juga menjadi aktor dalam dunia politik.  

Yang sosialis tetapi berbasis agama biasanya memberi jawaban, asketik, hidup sederhana. Kita tidak bisa merebut alat produksi kapitalis tetapi kita bisa membuatnya keki dengan tidak membeli barang jualannya. Semakin asketik kita, semakin kecil peluang kapitalisme memengaruhi kehidupan kita. 

Tetapi kapitalisme ini rupanya sudah menguasai ruang kebudayaan. Jika kita memilih hidup asketik, siap-siap disebut kampungan, cupu, cemen. Bayangkan kalau seorang anak muda hanya punya hape jadul yang tri-ji (telpon-ji, smsji dan senter-ji), hidupnya akan selesai! 

Aktivis Hidzbuttahrir yang juga kerap mengkaji kritik kapitalisme menjawab dengan lantang: khilafah! Yang dimaksud adalah merebut alat pelindung produksi terbesar kapitalisme global; negara. Dengan mengambil alih negara-negara kapitalis ini, era kapitalisme diyakini segera berakhir dan digantikan dengan era Islam. 

Bagi mereka, Islam menawarkan ide kehidupan yang lebih komprehensif dan lebih baik daripada sistem kapitalisme. Tetapi, ide HTI mendapatkan perlawanan dimana-mana, bahkan dari sesama pengkritik kapitalisme. Alih-alih menjadi paradigma baru, aktivis HT justru kebingungan membangun ruang politiknya.

Tiga pola jawaban ini terus terulang dalam setiap diskusi kritik kapitalisme. Sayangnya, kapitalisme terus hidup dan jawaban-jawaban yang diberikan hanya berakhir di arena diskusi. Selepas diskusi, kita semua menjadi anak-anak dari sistem kapitalisme ini. Kita konsumennya. 

Memang, di antara tiga jawaban di atas saya lebih sering menganjurkan yang kedua. Sistem ‘hidup sederhana’ ini bisa diakumulasi menjadi sistem kebudayaan. Entah kenapa, saya meyakini kapitalisme bisa dilawan dengan gerakan kebudayaan.  

Akumulasi Modal dan Gerak Sirkulasi

Sistem kapitalisme bekerja dengan platform sederhana, akumulasi kapital dan gerak sirkulasi. Kapitalisme adalah sistem yang bertumpu pada ‘gerak’. Semakin kencang gerak sirkulasi produksi-konsumsinya, semakin kuat mengakumulasi modal. 

Akumulasi modal – dalam sistem kapitalisme, tidak mengenal titik akhir. Surplus akan muncul dan butuh strategi ekonomi agar surplus itu bisa direproduksi. Karena itu dunia harus dikuasai dan direkonstruksi agar nilai surplus ini bisa menemukan ruang konsumsi. Dan, itu berhasil!

Contoh sederhana, kebutuhan dasar dan awal terhadap ponsel adalah komunikasi.  Para produsen ponsel terus menerus memproduksi jenis ponsel baru, sembari memperluas kebutuhan kita terhadap barang ini. Kalau semua konsumen bersepakat untuk membatasi kebutuhan sekadar terhadap komunikasi. Kapitalis ponsel tidak akan tercipta. 

Tetapi, konsumen dalam sistem kapitalisme adalah bagian dari desain. Iklan bekerja untuk kepentingan itu. Setiap produksi baru diluncurkan, batas kebutuhan kita terhadap benda ini pun diperbaharui. Dunia di reka-cipta agar nilai surplus teknologi itu bisa terlihat sebagai nilai dasar. Marx menyebutnya sebagai fetishisme. 

 Dengan ide akumulasi modal tanpa batas ini, kapitalisme membutuhkan ruang yang juga tak terbatas untuk bergerak. Seluruh tempat di muka bumi ini harus dibuka agar modal semakin terakumulasi. 

Kapitalisme memanfaatkan apapun agar rumus akumulasi modal tetap berjalan. Negara, agama, sosial, pendidikan, dan kebudayaan diakuisisi untuk memenuhi rumus sederhana itu. Kota-kota diciptakan, hutan dibabat, hasil bumi ditambang atasnama peradaban. Tetapi sekali lagi, basis kepentingannya adalah akumulasi modal yang mengalir pada ‘pemilik modal’.  

Covid-19 dan Runtuhnya Kapitalisme?

Pandemik bergulir dan kapitalisme menjadi sasaran ‘ejekan’. Sejak covid-19 mewabah, ada banyak essai yang wara-wiri di media on-line yang merespon dengan sinis kegagalan kapitalisme sebagai sebagai solusi. Sarang kapitalisme tidak memiliki jejaring yang kuat untuk menyelamatkan manusia dari akumulasi wabah. Bahkan, negara-negara kaya berbasis ekonomi kapitalisme terlihat berantakan. 

Bagi para aktivis anti-kapitalisme, keinginan untuk melihat ide kapitalisme bangkrut seolah terwujud sekarang. Lihat saja ikon-ikon kapitalis global di kota-kota besar terlihat lesu. Perusahan, hotel, bisnis penerbangan, eksport import mobil melambat, pertamina sepi. Semuanya merugi. Kota-kota ikon kapitalisme sepi. Pergerakan ekonomi melambat. Negara-negara kapitalis sedang bersiap-siap mengalami gelombang krisis ekonomi baru. Itu tidak kalah mengkhawatirkan.

Pandemik ini berhasil merusak satu elemen fundamental dalam kapitalisme, gerak sirkulasi. Negara-negara kapitalisme pun terlihat kebingungan mengambil keputusan strategis. Mereka dalam dilema besar antara melawan pandemi dan menyelamatkan ekonomi sekaligus. Keputusan Trumph membatalkan keinginan untuk me-lockdown Kota New York adalah bagian dari kegalauan itu.  

Uniknya, negara komunis justru terlihat lebih baik.  Kuba sebagai negara komunis yang diembargo oleh Amerika tampil sebagai superhero. Semua berdecak kagum dengan kesigapan Kuba dan menjadi ‘tentara dunia’. Negara kapitalis hanya bisa memproduksi superhero imajiner tetapi Kuba mewujudkannya dalam dunia nyata, kira-kira begitu pembandingannya. Vietnam yang juga berhaluan komunis mencatat rekor tanpa kematian. 

Tetapi benarkah kapitalisme akan runtuh? Tunggu. Bukankah dalam dua puluh tahun terakhir, para kapitalis baru telah muncul melalui dunia maya. Orang kaya dunia tidak lagi dikuasai oleh pemilik perusahaan tambang emas, minyak tetapi pemiliki Microsoft dan penguasa media internet. 

Bill Gates, Mark Zuckerberg, dan Jeff Bezos telah lama masuk sebagai daftar orang terkaya dunia. Bahkan,  Jeff Bezos, pendiri Amazon.com inc, tercatat sebagai orang terkaya dunia versi majalah Forbes 2020. 10 besar orang terkaya dunia saat ini berasal dari dua sektor saja bisnis hiburan (termasuk fashion) dan digital. Artinya, kapitalisme konvensional telah lama kalah bersaing.

Di Indonesia, era para kapitalis muda berbasis media digital sudah bersiap-siap menggantikan para seniornya. Era Bakri dan dua bos Sampurna akan segera berakhir. Para kapitalis digital tidak hanya muncul meraup banyak sekali keuntungan tetapi juga menjadi ikon kesuksesan. Nadiem Makariem didaulat menjadi Mendikbud dan Ceo RuangGuru diangkat menjadi staf khusus presiden. Mereka dianggap sebagai inspirasi yang tepat untuk anak muda Indonesia. Lihat, bahkan imajinasi kita tentang kesuksesan pun diisi oleh mereka. 

Dunia nyata memang bergerak sepi, tetapi pergerakan di dunia maya justru meningkat. Founder zoom Erick Yuan mendapatkan keuntungan 66 Triluin rupiah selama masa pandemic berlangsung. Artinya, pergeseran ruang dari ruang fisik ke ruang digital tidaklah mengubah watak kapitalisme. 

Memang, kapitalisme di dunia nyata mengalami kemunduran besar tetapi para kapitalis di balik media digital bersiap-siap untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda. Benar kata David Harvey (A Companion to Marx’s Capital, 2010), kapital bukan benda, melainkan proses yang hanya ada dalam gerak. Ketika sirkulasi berhenti, nilai lenyap dan seluruh sistem runtuh. 

Kapitalisme selalu menemukan tempat untuk bergerak. Bahkan kapitalisme virtual lebih siap dibanding kelompok sosial manapun dalam merespon pandemik. Ketika sebagian besar manusia global menjerit dan kekurangan penghasilan, para kapitalis dunia virtual ini sedang menambang emas dari kebiasaan kita menolak sepi dan sangat aktif di dunia media digital.  

Kontrol kapitalisme virtual ini jauh lebih kuat, senyap, lebih massif bahkan di tengah kesadaran kita yang merasa sedang bebas. Semua data, percakapan ada dalam genggaman mereka. Suatu saat, data itu akan digunakan untuk melawan kita sendiri. Ah, kapitalisme memang selalu bikin keki.@

Pepi Al-Bayqunie.  
Pengagum Gus Dur

Komentar