Kumbakarna dan Seorang Ibu Yang Memeluk Pembunuh Anaknya.

Ilustrasi; engineear.co

Kumbakarna adalah tokoh dalam epos Ramayana yang menarik perhatian saya. Melebihi Rama yang tampan, Shinta yang cantik, dan Rahwana yang super kejam. 

Dia tidak setampan Rama. Ia adalah raksasa buruk rupa nan pemalas. Kesukaannya adalah tidur. Butuh tenaga ekstra dan waktu yang lama untuk membangunkannya ketika dia sudah terlelap. Dia juga tidak sesakti Rahwana. Kemampuannya sebagai raksasa cenderung biasa-biasa saja. 

Kumbakarna Yang Liminal
Lalu apa yang menarik? Posisinya. Dia unik dan liminal. Dia berada di antara kebaikan Rama dan keburukan Rahwana. Narasi utama Ramayana adalah perang antara kebaikan dan keburukan. Rama dicitrakan sebagai simbol manusia ideal. Segala kebaikan ada pada dirinya. Raja, sakti, tampan, dan memiliki cinta suci kepada Shinta.  

Sebaliknya, Rahwana dicitrakan sebagai simbol segara keburukan. Tamak, angkuh, dan tiranis. Dia melakukan segala hal untuk memuaskan keinginannya. Dia memaksakan cintanya kepada Shinta dan berujung petaka. Rahwana sangat sakti. Dia memiliki berkat Dewa Siwa yang diperolehnya melalui tirakat panjang. 

Kumbakarna hadir di tengah dua titik ekstrim ini. Dia memainkan narasi liminal tanpa merusak ritme narasi utama perseteruan Rama dan Rahwana. Kumbakarna mengacak-acak dua titik ekstrim ini dan membawanya kepada cara pandangnya sendiri. 

Kumbakarna liminal tetapi determinan. Konsepsi baik dan buruk terhubung dengan sangat cair dan dinamis dalam dirinya. Dia membela kebaikan dalam keburukan. Dia tetap mutiara meski membela kotoran dan melawan mutiara lainnya. Dia berperang melawan kebaikan dan membela orang jahat tetapi dunia menghormatinya sebagai orang baik. 

Dia memang akhirnya meninggal dunia di tangan Rama. Tubuh dan kepalanya terpisah oleh panah sakti Rama. Tetapi kematiannya menjadi jeda perang. Rama dan Rahwana bersepakat untuk gencatan senjata. Kematian Kumbakarna adalah kesedihan bersama. Rama bersedih, Rahwana bersedih. Kumbakarna memberi efek dramatis yang sangat agung, di tengah kejenuhan pertarungan antara kebaikan dan keburukan yang  membosankan.  

Membela Tanah Alengka
Keberpihakan Kumbakarna bertumpu pada nilai, bukan orang. Dia memihak Rahwana sebagai pemimpin tanah Alengka. Dia tidak membela kejahatan Rahwana tetapi kehormatan tanah Alengka. Tanah Alengka adalah tanah suci. Tanah yang memberi kehidupan pada ibunya, dirinya, dan adiknya yang bijak Wibisana. Rahwana adalah partikel lain yang berbeda dengan Alengka. Rahwana dan Alengka hanya terhubung dalam struktur kekuasaan bukan nilai. 

Sebagai raksasa baik, Kumbakarna ikut menentang sikap Rahwana yang menculik Shinta dan pernah memintanya mengembalikan kepada Rama. Tetapi Rahwana adalah pribadi yang rumit dan sulit dikendalikan. Sejak mendapatkan berkat Dewa Siwa dan menjadikannya sebagai makhluk tak terkalahkan, Rahwana mengalami delusi kekuasaan. 

Kumbakarna berdiri tegak di sisi Rahwana sebagai prajurit yang membela kehormatan tanah airnya. Rama –meski dengan alasan memusnahkan kejahatan- adalah orang asing yang hendak menyerang Alengka, tanah airnya. Itu harus dilawan.

Kumbakarna tahu Rama adalah titisan Dewa Wisnu. Oleh karena itu, dia tidak menghalangi adiknya yang berwujud manusia Wibisana menyeberang ke pihak Rama. 

Tetapi, Kumbakarna memiliki ikatan suci dengan tanah airnya. Ikatan yang melampaui perseteruan kebaikan melankolis Rama dan keburukan destruktif Rahwana. Kumbakarna memisahkan diri dari narasi besar Ramayana dan membentuk narasinya sendiri. Rama adalah musuh, penakluk yang harus dilawan demi menjaga kehormatan ibu pertiwi.  

Kematian Kumbakarna adalah peristiwa herois. Tidak ada satu pun tokoh dalam Ramayana yang mendapatkan penghormatan dari dua sisi yang kontradiksi, Rama dan Rahwana. 

Si Ibu Yang Memeluk "Kejahatan".
Di dunia nyata, saya menemukan satu kisah kecil yang emosionil. Kisah yang mengacak-acak perasaan dan memaksa mata berkaca-berkaca. Kisah seorang ibu di ruang pengadilan di Amerika. 

Seorang ibu yang sedang mengalami kepedihan mendalam. Anaknya ditemukan meninggal dunia dengan tubuh penuh luka tembakan.  Pengadilan mengundangnya untuk melihat pembunuh anaknya. Seorang preman kulit hitam yang masih berusia belasan tahun.  Si ibu datang dengan jilbab sederhana. Kepedihan terlihat jelas di matanya. 

Pengadilan memberinya ruang untuk berbicara. Dia memiliki kesempatan dan ruang strategis, yang kalau digunakan untuk membuncahkan semua sumpah serapah dan amarah yang dimilikinya, dunia pasti memakluminya. Siapa yang tidak terluka dan dendam terhadap penjahat yang melukai dan membunuh darah daging kita? Bahkan kita dengan ikhlas menitipkan sumpah serapah kepada Ferdian Pelaka yang mengerjai transpuan di subuh hari. Kita pun dengan spontan mengeluarkan sumpah serapah kepada pembuli Rizal, si penjual Jalangkote. Kita merasa sah dan benar mengutuk para penjahat. 

Ajaib. Sang ibu justru mengeluarkan kalimat-kalimat kebaikan. Tak ada diksi amarah dan dendam. Si ibu yang anaknya terbunuh secara brutal menawarkan bantuan kepada si pembunuh untuk bekerja sama dengan ibu penjahat ini agar bisa berubah menjadi lebih baik. Si ibu akan mengunjugi si pembunuh secara berkala dalam penjara. “Kematian anakku adalah takdir. Mungkin takdirnya untuk mengubahmu dan lingkungan kita menjadi lebih baik.”

Si ibu memilih berdamai dengan kemarahannya dan menjadikannya kekuatan untuk bergerak. Si ibu keluar dari siklus kekerasan. Dia memilih menjadikan anaknya sebagai ‘korban’ terakhir dari siklus kekerasan struktural yang terjadi di lingkungannya. Di ujung drama ini, si ibu datang memeluk pembunuh anaknya. 

Yang membuat saya terpesona adalah fondasi sikapnya. Si ibu menyebutnya sebagai nilai ajaran Islam yang dianutnya. Islam memang memberi dua cara dalam kasus ini. Dua-duanya benar. Qishas (balas) dan afwu (memaafkan). Dua diksi ini dideret dalam satu ayat yang sama, bukan ayat yang terpisah. Qishas adalah revolusi hukum dari hukum bar-bar suku Quraish yang membalas pembunuhan dengan cara berlipat ganda. Sedangkan afwu adalah gagasan orisinil Islam yang melampui sistem hukum dan budaya masyarakat Arab saat itu. Sang ibu memilih afwu sebagai cara penyelesaian. Hebatnya, si ibu ini menemukan nilai terbaik dari Islam di negeri non muslim. 

Si ibu memosisikan sang pembunuh sebagai korban dari siklus kekerasan yang telah sistemik. Anak ini adalah korban dari sistem sosial. Dia melakukan pembunuhan sebagai ekspresi dari sistem nilai yang dianutnya. Si ibu dan pembunuh sama-sama berkulit hitam. Si ibu menyadari ada kekeliruan sistemik dalam struktur lingkungannya. Si ibu menjadikan kematian anaknya sebagai momentum perubahan. 

Ah, tiba-tiba saya teringat satu quote menarik dalam film kolosal India, Bahubali. “Jika kamu membunuh seribu musuh dalam peperangan, maka kamu akan disebut sebagai pahlawan. Tetapi jika kamu mampu memberi kehidupan kepada satu orang, maka kamu akan dipuja sebagai Tuhan”. Melalui kematian anaknya, si ibu sedang menuju proses spritual, memasuki ruang ketuhanan; menuhan. 

Kumbakarna dan si ibu adalah refleksi sikap patirotik dan spritual. Keduanya mendasarkan diri pada nilai yang diyakininya. Keduanya melampui sikap manusia kebanyakan. 

Sungguh mudah menjadi Wibisana. Yang atas dasar berpihak pada kebaikan membelot ke sisi Rama. Dunia membenarkannya dan memperoleh atribut sebagai pahlawan. Sungguh mudah bagi sang ibu menjadi manusia normal dengan menyulut amarah dan sumpah serapah di depan pengadilan. 

Tetapi Kumbakarna memilih untuk setia kepada tanah airnya. Si ibu memilih membela nilai kemanusiaan dengan caranya. Kumbakarna memilih “melawan kebaikan” dan si ibu memilih “merangkul kejahatan”.
 Untuk menempuh jalan ini, keduanya memerlukan keberanian berlipat ganda. @

Pepi Albayqunie
Penggemar Gus Dur

Komentar